Sebenarnya, sudah lama saya tertarik untuk membaca novel best seller mahakarya Andrea Hirata, tapi apa daya, susah sekali memantapkan niat itu. Hehe. Sampai akhirnya, saya tau Mira Lesmana akan memvisualisasikan novel ini. Wuihh, yippiesss!!! Saya tidak perlu repot-repot baca novelnya!! Padahal, sebenarnya saya adalah orang yang suka baca, malah dulu saya selalu lebih puas baca novel daripada liat filmnya. Lebih puas bikin visualisasi sendiri, begitu pikir saya. Tapi, entah mengapa memang semenjak kuliah nafsu membaca saya menurun drastis. Jadi, saya sangat menunggu nunggu film Laskar Pelangi.
Ketika saya sudah tau Laskar Pelangi sudah tayang di Botani XXI (cieee, Bogor punya XXI, booo), saya segera mengirim pesan singkat ke Papip-my lovely dad-yang kebetulan sabtu itu bertugas ketemu klien di lapangan golf. 'Pip, Laskar Pelangi yuk malem mingguan' begitu sms saya. Ternyata Papip setuju untuk menghabiskan malam minggu di bioskop. Jadilah, sore itu saya berangkat bersama Papip, Mamim, dek Ival dan dek Digdig ke Botani.
Jam tujuh teng, kita masuk ke studio. Selama pemutaran film, saya sangat menikmati suguhan Riri Riza ini. Mungkin, karena saya tidak baca bukunya, jadi saya merasa film ini bagus sekali. Sangat terlihat semangat para Laskar Pelangi ini. Dan sejujurnya, agak membuat saya malu. Hehe. Saya yang dicekoki berbagai fasilitas kok keinginan sekolahnya ya gitu gitu aja, sedangkan Lintang, yang harus melalui berbagai rintangan, masih saja sulit untuk mendapat pendidikan yang mungkin hanya sekedar saja.
Ya, menurut saya film ini sangat kental dengan mimpi dan bagaimana mimpi itu diwujudkan. Tapi, ternyata tidak hanya itu. Mungkin karena faktor kedewasaan juga, Papip saya punya filosofinya yang lebih dalam (cieeee). Memang sudah menjadi hobi saya untuk menggali pemikiran ayah saya, entah mengapa mendengar perkataan Papip tuh seru sekali.
Diawali dengan keinginan saya untuk kursus jahit tapi tidak tau mengapa, si Papip tiba tiba nyambung ke Laskar Pelangi. Dan akhirnya kita asik bahas tentang Laskar Pelangi the movie ini. Menurut Papip, ada beberapa filosofi dari film ini, yang pertama adalah tentang mimpi, mimpi bisa mendorong seseorang begitu ingin mewujudkannya. Bagaimana bu Mus sangat ingin memberikan pendidikan bagi mereka yang tidak mampu, bagaimana Ikal dan teman temannya begitu ingin belajar dan bersekolah.
Dan seperti yang saya bilang sebelumnya, tidak hanya itu. Film ini juga memberi gambaran bahwa keterbatasan bukanlah penghalang, keterbatasan malah menimbulkan kreativitas lebih. Bagaimana Lintang yang menyempatkan diri membaca koran sampai bagaimana Mahar bisa memberikan pertunjukan yang tidak semegah drum band, tapi ternyata bisa mengalahkan dan bisa menjadi pemenang dalam karnaval. Anak-anak ini tidak memiliki ruang yang luas, tidak memiliki buku, atau sumber informasi yang anak-anak lain miliki. Tapi, Mahar bisa sangat kreatif membuat tarian, dari apa yang ia dengar dari radio tape bututnya, dan bahkan dari alam yang mengelilinginya. Keterbatasan yang mereka miliki ternyata dapat mendesak mereka untuk mewujudkan mimpi mereka dengan kreativitas.
Tidak hanya itu, di saat anak anak lain memilih kalkulator dalam menghitung, ternyata laskar pelangi ini 'hanya' dibekali seikat lidi saja untuk menghitung. But fyi, i used this! Waktu saya mulai belajar menghitung, saya juga dibekali seikat lidi oleh Papip dan Mamim saya. Saya agak miris makanya, melihat anak sekarang yang terkontaminasi alat-alat elektronik yang membuat mereka merasa masalah dapat denga mudah diselesaikan.
Back to the topic, ternyata Riri Riza juga memberikan gambaran bahwa pasti ada sesuatu yang harus kita bayar untuk mendapatkan sesuatu. Mungkin orang yang lebih beruntung itu mengorbankan uang, tapi anak Laskar Pelangi ini tidak diberikan cuma-cuma untuk meraih kemenangan mereka. Kemenangan mereka dibayar dengan tubuh gatal-gatal. Ya, sesuatu tidak semudah itu kita raih, tidak hanya minta dengan ibu peri, lalu viola, dapat terwujud. Ketika kita mendapat sesuatu, kita harus merelakan sesuatu.
Point berikutnya adalah bagaimana Lintang juga dapat bertanggung jawab. Ingat ketika Bu Mus tidak mengajar berhari-hari, ketika anak lain berpikir buat apa mereka ke sekolah toh Bu Mus saja tidak ada, ingat apa yang dikatakan Lintang? Dia bilang, ayahnya pergi melaut untuk menyekolahkannya, kalau ayahnya mau pun, mungkin ia sudah dibawa ikut melaut, tapi nyatanya ayahnya ingin Lintang menikmati pendidikan, agar hidupnya pun lebih layak. Lintang melihat bahwa orang lain mungkin sudah merelakan sesuatu untuknya, ayahnya sudah merelakannya untuk tidak melaut, Lintang 'hanya' diberi tugas untuk sekolah, makanya dengan adanya hal itu menimbulkan sikap bertanggung jawab nya Lintang atas pengorbanan ayahnya.
Bukan hanya itu saja sikap bertanggung jawab Lintang. Ketika ayahnya hilang, Lintang pun sangat bertanggung jawab terhadap para adiknya. Bukan tidak mungkin Lintang tetap pergi ke sekolah, tapi ia merasa ia bertanggung jawab atas adiknya yang ditinggalkan oleh orang tua mereka.
Lalu pemikiran Bu Mus, bahwa setiap anak berhak mendapatkan pendidikan, setiap anak berhak menikmati pendidikan.
Terakhir Papip mengatakan film ini mengambarkan bahwa tidak semua yang kita punya adalah milik. Dapat dilihat bahwa, para petinggi di pabrik timah itu pun tidak bisa selalu di atas, roda kehidupan berjalan toh? Ternyata ada saatnya timah itu pun harganya anjlok, timah sudah tidak digemari, dan membuat tidak ada lagi garis pembatas di dalam masyarakat. Ya, roda kehidupan berputar. Semua yang kita punya bukan milik. Semua yang kita punya adalah titipan. Ketika ia hilang, kita tidak boleh protes toh?
Mungkin, banyak hal lagi yang dapat digali dari film ini. Tetapi yang pasti, film ini harusnya sangat menginspirasi. Khususnya, buat saya yang masih pelajar. Harusnya, saya bisa lebih bersyukur, dan tidak menyianyiakan kesempatan saya untuk dapat menikmati bangku kuliah. Huff, semoga saja saya bisa lebih giat lagi dan lagi!