surat cinta
entah kenapa, saya malah menulis ini. entah dari mana desakannya, entah mau kemana tujuannya.
terlalu banyak kisah yang ayah saya bagi. dari bagaimana beliau pertama memijakkan kaki, hingga bagaimana beliau mendaki.
mungkin bisa diibaratkan sebagai sebuah pendakian gunung. pendaki yang baik memulai pendakiannya dari kaki gunung. dari bawah. bersusah payah melewati hutan, jalanan tak layak, atau bahkan berjalan menghindari jurang.
lalu bagaimana kalau seorang pendaki tidak bisa sampai ke puncak? kecewa? pasti. bahkan kami yang mendoakan dari kaki gunung bisa merasakan, walau mungkin tidak sedalam yang dirasakan sang pendaki.
tetapi ada yang salah dengan itu? bila tidak bisa menggapai puncak?
apa salahnya dengan berpindah ke gunung lain? toh, sudah lebih dari separuh jalanan mendaki yang terlewati. sudah merasakan lelahnya mendaki, pegalnya kaki, atau mungkin luka tertusuk duri.
tidak ada salahnya dengan turun kembali, dan memulai ke gunung yang lain lagi.
putar kembali kemudinya. puncak itu memang tidak tergapai, tapi toh segudang pengalaman sudah ada di tangan.
simpanlah sebagai bekal menggapai puncak yang lain.
Tuhan pasti menyediakan satu puncak yang bisa digapai dan telah Ia sediakan untuk sang pendaki.
Tidak ada usaha yang sia-sia.
Tuhan menyediakan semua di tempat dan waktu yang indah. bahkan lebih indah dari yang pernah terbayangkan.
mungkin ayah lupa, tapi ada satu kalimat yang pernah beliau ucapkan dan selalu saya pegang hingga kini: "ini bukan tentang hasil, tetapi tentang proses"
bukan tentang merasakan tingginya puncak, tetapi bagaimana pendakian menuju ke sana. Tuhan menyimpan sejuta rencana. mungkin puncak yang ini anginnya terlalu kencang, mungkin puncak gunung sebelah pemandangannya lebih indah.
tetap semangat mendaki hingga ke puncak.
walau harus memulai lagi dari bawah.
aku terus dan selalu akan mendoakan. walau tidak membantu banyak.
:)
0 comments:
Post a Comment