pra-epilog: saya mau kamu
Aku tidak tahu apa mauku kini. Kuusapkan bedak begitu saja di wajahku. Entah mengapa aku ingin tampil istimewa kini. Padahal aku tahu pasti, tidak ada maaf yang sempurna yang aku berikan padanya.
Kulihat pantulan diriku di cermin sana. Paduan tube dress hitam selutut dengan shawl acid-wash denim yang senada dengan heels yang sudah aku pakai di kedua kakiku kupikir sudah cukup sempurna untuk malam ini.
Terdengar ketukan di pintu kamarku, "Ndo, sudah ada yang menunggu di bawah," suara Ibu terdengar sama halusnya dengan ketukan itu.
Kuberi sentuhan terakhir untuk bibirku, lip gloss berwarna natural sebelum akhirnya aku menyambar clutch bag hitam polos dan pergi dari kamarku.
Aku mengecup pipi Ibu sebelum akhirnya pergi menghampirinya di ruang tamu. Ia berdiri dari duduknya sambil memamerkan senyum di wajahnya. Ah! Aku tidak bisa bohong untuk tidak mengagumi senyumnya.
"Kami pergi dulu, Bu," ia pamit pada Ibu dengan sopannya. Satu lagi setelah entah berapa nilai plus yang sudah ia kantongi.
Berjalan beriringan dengannya seperti ini pernah sangat aku impikan. Aku dengan baju rapih dan dia tidak kalah prepare nya. Satu set tuxedo sangat cocok di tubuh tegapnya. Ah, dia terlalu sempurna. Aku tidak bisa melepaskan senyum sedetikpun.
Perjalanan dihabiskan dalam diam. Aku hanya bisa memandanginya yang sedang sibuk dengan kemudinya itu. Sesekali ia menoleh padaku dan tersenyum karena merasa menang berhasil memergokiku yang mengamatinya sedari tadi.
"Macet," desisnya mengeluh.
Aku malah menjatuhkan kepalaku di bahunya. "Nikmati sajalah,"
"Hampir terlambat, La untuk sampai ke kafe impianmu itu," ia mengingatkan kemana hendak kami pergi.
Aku tertawa kecil, "ya sudahlah, di sini saja,"
Ia menoleh mengangkat wajahku memaksa mataku untuk menatapnya. "Kamu yakin tidak apa?"
Aku mengangkat bahu.
Ia mendesah menarik nafas dalam. Aku hanya diam mengamati tingkah anehnya. "Ada apa? Sudahlah, ada kamu pun aku sudah senang. Begini saja," aku menyenderkan lagi kepalaku di bahunya.
Jalanan macet tidak dapat dipungkiri. Tidak ada pergerakan sejak tiga puluh menit yang lalu. Aku dapat mendengar dentuman detak jantungnya dari sini. Itulah mengapa aku suka menyenderkan kepalaku di bahunya.
"La,"
"Hm..."
"Would you please.."
"What?"
Aku hanya memejamkan mata. Menikmati detakan jantungnya yang seirama denganku dan mendengar suara halusnya yang selalu membuatku jatuh cinta.
Kurasakan tangannya menyentuh dagu dan mengangkatnya. Ia memandangku lurus. "Would you please..." ia mengeluarkan kata kata itu pelan, hampir berbisik. Tangannya masih menyentuh daguku.
Kulihat tangannya merogoh saku tuxedonya.
"What, honey?" tanyaku manja.
"Would you please...." pertanyaannya lagi-lagi terpotong karena ia sibuk mencari entah apa dari sakunya.
Aku membelakkan mata dan mengerutkan kening tanda menunggu kata-kata lanjutan darinya.
"..be mine?" disodorkannya sebuah kotak kecil yang mungkin ia cari sejak tadi di sakunya.
Aku hanya melongo tanda terkaget. Tidak menyangka ia memilih momen seperti ini, di tempat ini.
"Would you be mine?"
Kusadari mataku basah. "Why?"
"Cause i want you to be mine..."
Tidak ragu kupeluk tubuh hangatnya. Bahkan aku lupa menjawab atau mengambil kotak kecil itu untuk melihat isinya. Aku hanya ingin memeluk dan menggapai hangatnya.
"Would you please answer?" bisiknya sambil mengelus pelan rambutku.
"You dont need an answer. You can read my mind," aku mempererat rengkuhan itu.
"I love you more than anything you've imagine, Diaz.."
0 comments:
Post a Comment